Belakangan ini, tren “marriage is scary” atau “pernikahan itu menakutkan” membanjiri berbagai platform media sosial dengan disertai unggahan-unggahan yang menggambarkan kekhawatiran dan ketakutan akan kehidupan berumah tangga. Tren “marriage is scary” ini didominasi oleh konten-konten yang menyoroti sisi gelap pernikahan, seperti beban tanggung jawab finansial, konflik rumah tangga, hingga isu perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Adanya tren ini, tidak seharusnya membuat kita yang belum menikah menjadi mempersepsikan bahwa pernikahan itu menakutkan dan menjadi enggan menikah. Hal ini seharusnya dapat menjadi pengingat bahwa pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa dianggap enteng karena dibutuhkan kesiapan dalam menghadapi lika liku rumah tangga kedepannya.
Nah, sebelum membahas lebih dalam terkait kesiapan dalam pernikahan, kita harus pahami dulu apa sih definisi kesiapan dalam pernikahan?
Kesiapan dalam pernikahan merupakan kemampuan dalam melakukan peran-peran yang ada dalam pernikahan, serta melihatnya sebagai aspek dalam pemilihan pasangan dan proses perkembangan suatu hubungan (Holman, 1997). Kesiapan dalam pernikahan juga merupakan kondisi mental seseorang yang percaya dan yakin untuk menikah. Hal ini terkait dengan kemampuan menjalankan peran, tanggung jawab dan tantangan dalam perkawinan (Widyawati et al, 2022).
Kesiapan dalam pernikahan akan memperbesar peluang keberhasilan dalam menemukan keharmonisan dan kebahagiaan perkawinan, serta keberhasilan mengatasi konflik-konflik yang mungkin terjadi (Howe, 2012; Olson, DeFrain & Skogrand, 2014). Fatma et al (2015) mengatakan bahwa ketika seseorang memilliki kesiapan dalam pernikahan dapat membuat kehidupan pernikahannya lebih bahagia dibanding yang tidak memiliki kesiapan dalam pernikahan. Hal ini membuktikan bahwa aspek kesiapan dalam pernikahan memiliki dampak yang signifikan dalam kehidupan pernikahan yang akan berjalan kedepannya.
Lalu, faktor apa saja sih yang memengaruhi kesiapan dalam pernikahan?
Karakteristik hubungan dalam keluarga
Semakin seseorang merasa puas dengan hubungan keluarganya, maka semakin besar pula kesiapan seseorang dalam pernikahan. Kepuasan ini mencakup rasa puas terhadap kedekatan dengan keluarga, bagaimana cara keluarganya menyelesaikan permasalahan, berkomunikasi, dan kebahagiaan masa kecil individu tersebut secara keseluruhan (Holman, 1996).
Dukungan dari lingkungan terdekat
Ketika orangtua maupun sahabat menyetujui hubungan yang sedang dijalani, maka dapat memberikan dampak yang positif bagi seseorang pada kesiapan dalam pernikahan (Cate & Llyod, 1992)
Di samping itu, faktor sosiodemografis, seperti pendidikan, pendapatan, dan umur, juga berpengaruh terhadap kualitas interaksi pasangan dan kesiapan menikahnya (Holman, 1996).
Selain itu, kesiapan dalam pernikahan menurut Sari & Sunarti (2013) adalah kesiapan emosi, sosial, peran, usia, finansial, dan seksual. Kesiapan emosi, seperti: kesiapan dalam berkomitmen, menghadapi dan memecahkan masalah, kesiapan menerima kekurangan orang lain, dan kesiapan mencintai. Lalu kesiapan sosial meliputi kemampuan beradaptasi dengan lingkungan, kesiapan membangun hubungan sosial, serta kemandirian. Kesiapan peran berupa kesiapan menjalankan peran dalam pernikahan, pengetahuan tentang pernikahan dan pengasuhan, kemampuan merencanakan masa depan, dan bertanggung jawab. Kesiapan finansial meliputi pekerjaan atau penghasilan serta memiliki tabungan. Serta kesiapan seksual atau reproduksi meliputi kesiapan fisik dan kesehatan serta kesiapan organ reproduksi (seksual).
Perlu dipahami pernikahan yang baik memerlukan komitmen untuk pertumbuhan bersama, bukan hanya dengan cinta dan romantisme saja. Untuk membuat kehidupan pernikahan yang sehat, bahagia, dan penuh makna, kita harus memiliki ekspektasi yang realistis dan kesiapan yang matang, bukan sekadar persiapan teknis saat akad dan resepsi!
Sebagai kerabat atau keluarga, ada baiknya kita mengingatkan pasangan yang akan menikah untuk membicarakan mengenai kesiapan dalam pernikahan. Sementara bagi Anda yang berencana untuk menikah, selamat berdiskusi dengan pasangan ya! Jika Anda bingung harus memulai darimana, atau membutuhkan bantuan orang yang lebih ahli, Anda dapat berkonsultasi dengan psikolog di Biro Psikologi Lestari.
Kalian dapat langsung klik icon WhatsApp di pojok kiri bawah dan terhubung ke Admin Layanan kami!
Referensi:
Cate, R. M., & Lloyd, S. A. (1992). Courtship. Sage Publications, Inc.
Fatma, S. H., & Sakdiyah, E. H. (2015). Perbedaan kebahagiaan pasangan pernikahan dengan persiapan dan tanpa persiapan pada komunitas young mommy tuban. Jurnal Psikologi Tabularasa, 10(1) , 103-114. https://jurnal.unmer.ac.id/index.php/jp t/article/view/246
Hotman, T. B., Li, B. D. (1996). Premarital Factors Influencing Perceived Readiness for Marriage. Journal of Family Issues, 18, 124-114. DOI: 10.1177/019251397018002002
Howe, T. R. (2012). Marriages & families in the 21st century: A bioecological approach. West Sussex: WileyBlackwell
Olson, D. H., DeFrain J., & Skogrand, L. (2014). Marriages & families: Intimacy, diversity & strengths. New York: McGraw Hill Education.
Sari, F., & Sunarti, E. (2013). Kesiapan menikah pada dewasa muda dan pengaruhnya terhadap usia menikah. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, 6(3), 143-153.
Widyawati, S., Asih, M. K., & Utami, R. R. (2022). Kesiapan Menikah dan Kesiapan Menjadi Orangtua pada Individu Awal Dewasa. Jurnal Psikologi, 15(2), 377-386.