Seringkali kita menemui orang atau bahkan kita sendiri, susah untuk mengubah pemikirannya atas suatu hal yang sudah ia percayai sejak lama, padahal sudah terbukti salah. Kenapa sih banyak orang yang bersikap seperti itu? Salah satu penjelasan yang umum adalah hal tersebut merupakan salah satu fenomena yang disebut disonansi kognitif.
Apa sih disonansi kognitif itu? Dalam ilmu psikologi, teori disonansi kognitif menjelaskan bagaimana manusia secara konsisten mencari dan berupaya untuk mengurangi ketidaknyamanan psikologis dalam berbagai situati. Ketidaknyamanan tersebut dipicu oleh situasi dimana keyakinan seseorang berbenturan dengan bukti baru yang diperkenalkan kepada orang tersebut. Untuk mengurangi ketidaknyaman psikologis orang tersebut harus mengubah pikiran atau perilaku mereka sehingga kontradiksi batin dapat terselesaikan dan memulihkan keseimbangan mental. Oleh karena itu, orang terus-menerus mengurangi disonansi kognitif untuk menyelaraskan keyakinan dengan tindakan mereka, sehingga konsintensi psikologis tetap terjaga dan mengurangi timbulnya tekanan mental.
Teori ini dikemukanan oleh Leon Festinger (1957), teori ini merupakan teori yang sangat penting dalam sejarah psikologi sosial, karena ratusan penelitian telah menguji proses disonansi. Teori ini membuktikkan bahwa mengapa begitu banyak orang dengan gigih membela, memaafkan, membenarkan atau bahkan mempertahankan kepercayaannya sedangkan bukti yang menunjukkan jelas mengatakan bahwa mereka salah.
Dalam teori tersebut, Festinger mengemukakan tiga metode untuk mengurangi terjadinya disonansi kognitif, yaitu:
- Mengubah elemen perilaku.
- Mengubah lingkungan untuk memvalidasi perilakunya.
- Menambah elemen kognitifnya.
Kita ambil contoh kasus yang sering terjadi pada diri kita ketika dihadapkan pada suatu keadaan prokrastinasi (menunda-nunda suatu pekerjaan), kita sangat paham prokrastinasi merupakan suatu kebiasaan buruk dan memiliki dampak yang kurang baik jika dilakukan terus-menerus. Jika dimasukkan dalam teori disonansi kognitif, kondisi yang terjadi akan seperti ini ketika dihadapkan pada suatu tugas di pekerjaan setiap harinya;
- Kita memilih untuk mengubah perilaku kita dengan tidak melakukan prokrastinasi dan langsung mengerjakan tugas tersebut, jadi target kita terpenuhi dengan tepat waktu dan maksimal.
- Kita sesekali menunda tugas tersebut, sehingga kadang kita harus pulang telat, tugas kita pun tidak maksimal dan terkesan buru-buru.
- Kita selalu menunda tugas tersebut dengan alasan otak kita lebih mudah bekerja jika mepet dengan deadline di akhir waktu, jika kita beruntung memang tugas tersebut dapat terselesaikan meskipun denngan hasil yang tidak maksimal. Siklus tersebut juga terus berulang sehingga menggangu kegiatan/ kesehatan kita lainnya.
Contoh lainnya adalah pandemi yang terjadi saat ini. Para dokter dan tenaga kesehatan telah menganjurkan bahwa kita tidak perlu keluar rumah untuk sesuatu yang tidak penting. Jika memang kita harus terpaksa keluar rumah untuk bekerja atau belanja kebutuhan pangan yang sulit dibeli secara online kita dapat menggunakan double-mask dan tetap menjaga protokol kesehatan. Berikut merupakan ilustrasi sesuai dengan teori disonansi kogniti;
- Kita memilih mengubah perilaku kita sesuai dengan anjuran dokter dan tenaga kesehatan agar pandemi ini segera berakhir. Meskipun kita tahu segala sesuatu yang terjadi atas kehendak tuhan, tapi kita tetap percaya bahwa manusia juga harus berusaha untuk mengubahnya.
- Kita tetap mengikuti anjuran dokter dan tenaga kesehatan, namun sesekali kita memilih untuk makan atau nongkrong diluar dengan alasan kita bosan di rumah. Apalagi saat makan di luar kita harus melepas masker dan masih sangat memungkinkan untuk terpapar virus.
- Kita tidak percaya pada anjuran dokter dan tenaga kesehatan, kita memilih untuk tidak menggunakan masker dan melanggar protokol kesehatan. Kita memilih untuk percaya bahwa pandemi ini hanya buatan manusia yang akan kalah dengan buatan tuhan, yaitu diri kita. Dengan pemikiran seperti itu, kita malah menjadi manusia egois yang bisa saja bukan hanya terpapar virus, namun menularkan ke orang-orang yang sudah berusaha mematuhi protokol kesehatan.
Kedua contoh kasus diatas merupakan bagian kecil dari sekian banyak kasus disonansi kognitif yang terjadi pada manusia.
Idealnya, manusia adalah makhluk rasional yang secara konsisten menyesuaikan keyakinan, sikap dan perilaku mereka untuk menyelaraskannya dengan informasi baru yang sudah terbukti akurat. Sayangnya masih banyak orang tidak mau mengubah pandangan mereka untuk menjelaskan informasi baru yang bertentangan dengan keyakian mereka. Sebaliknya mereka lebih memilih untuk mengurangi disonansi kognitif dengan membenarkan pandangan mereka daripada mengubah pikiran dan perilaku mereka.
Kita harus ingat bahwa kita hidup di dunia ini tidak sendirian, jika memang informasi baru tersebut dapat berpengaruh baik untuk kita atau membantu orang agar tidak celaka, apa tidak sebaiknya kita mulai mempercayai dan mengubah perilaku kita?
Referensi :
Fadholi, Prisanto, G. F., Ernungtyas, N. F., Irwansyah, & Hasna, S. (2020). Disonansi Kognitif Perokok Aktif di Indonesia. Jurnal Riset Aktual Psikologi, 11, 1-14.
Festinger, L. (1957). A Theory of Cognitive Dissonance. California: Stanford University Press.
Lazarus, C. N. (2018, December 24). Why Many People Stubbornly Refuse to Change Their Minds: Why many people don’t let facts get in the way of their cherished beliefs. Retrieved June 28, 2021, from Psychology Today: https://www.psychologytoday.com/us/blog/think-well/201812/why-many-people-stubbornly-refuse-change-their-minds
Safitri, R. M., & Leonardi, T. (2013). Hubungan antara Disonansi Kognitif dengan Keterlibatan Siswa dalam Menempuh Pendidikan Formal di Lembaga Pemasyarakatan Anak Blitar. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 105-112.
Wahyurudhanto, A., & Prisgunanto, I. (2018). Pelanggaran Melawan Arah Arus Lalu Lintas pada Remaja Pengendara Sepeda Motor di Daerah Khusus Ibukota Jakarta : Analaisis Disonansi Kognitif. Journal of Indonesian Road Safety, 104-115.