Dalam kondisi maupun situasi tertentu ketika kita berhadapan dengan orang lain, kita sering kali memberikan penilaian secara cepat. Syukur jika penilaian tersebut hanya impresi sementara yang berpusat pada indera semata, misalnya warna pakaian, barang bawaan, atau atribut lain yang dekat dengan orang tersebut. Akan tetapi pada kenyataannya, kita justru memberikan penilaian yang terkesan melebihi realitas yang sebenarnya. Kalimat-kalimat seperti “orang ini aneh banget ya, pake tato, penampilannya kumuh juga, jangan-jangan dia penjahat”? atau “dia pasti orang gila deh, mana mungkin ada orang waras yang suka teriak-teriak nggak jelas tanpa sebab” pasti pernah kita alami ataupun jumpai pada beberapa kesempatan. Menduga sesuatu yang belum pasti kebenarannya hingga menetapkan nilai yang cenderung negatif pada orang lain merupakan salah satu konsep psikologis yang disebut dengan prasangka. Secara teori prasangka merupakan sikap individu terhadap orang lain atau kelompok sosial hingga menimbulkan reaksi tindakan yang negatif, misalnya mencemooh, mengasingkan, hingga beperilaku tidak adil.
Lalu apa sebenarnya yang menyebabkan sikap tersebut tumbuh subur dan sepertinya mustahil jika tidak dimiliki oleh seseorang. Dalam pandangan sosial, prasangka merupakan akibat dari stereotipe atau persepsi yang khas oleh individu terhadap orang lain. Stereotipe ini didasarkan pada konstruksi masyarakat dalam mengkategorikan objek yang secara harfiah melekat pada suatu kelompok atau individu tertentu. Upaya identifikasi ini kemudian memicu timbulnya prasangka. Seseorang kemudian menjadi sangat sensitif terhadap segala sesuatu yang tampak berbeda dari dirinya ataupun kebanyakan orang pada umumnya. Sikap seperti ini tentu bukan suatu hal yang patut untuk dilestarikan, mengingat konstruksi yang dibentuk merupakan kesesatan berpikir karena tidak ada proses validasi yang tepat. Bayangkan saja jika dalam suatu kelompok kecil seperti keluarga, salah satu anggota kita memiliki sikap yang demikian kemudian mengajarkannya pada anggota keluarga yang lain. Seseorang kemudian harus menanggung persepsi yang keliru dalam kurun waktu yang cukup lama hingga timbul tindakan membeda-bedakan ataupun perasaan benci.
Kemudian bagaimana cara kita agar meminimalisir sikap tersebut, yaitu dengan tidak melakukan intepretasi secara tergesa-gesa. Menciptakan kontak langsung atau memposisikan diri kita secara seimbang dengan orang lain (tidak merasa superior) merupakan salah satu cara untuk mengantisipasi diri kita dalam berprasangka. Mencari tahu informasi yang sebenarnya supaya kita tidak terjebak dari pengetahuan yang kurang sesuai terhadap seseorang ataupun kelompok tertentu. Dimana apabila dilakukan terus menerus, secara perlahan kita akan mereduksi perilaku diskriminatif dan meningkatkan perasaan untuk saling menghargai keunikan satu dengan yang lain.
Referensi : Suryanto, Putra, M. G. B. A., Herdiana, I., & Alfian, I. N. (2012). Pengantar Psikologi Sosial. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP).